Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah رحمه الله berkata, “Cinta adalah kepergian hati mencari yang
dicinta, seraya lisannya terus-menerus menyebut yang dicinta. Adapun lisan
senantiasa menyebut yang dicinta, tak ragu lagi karena dirinya tengah dirundung
cinta yang teramat sangat, maka ia akan banyak menyebutnya” (Madariju
As-Salikin, 3/15)
Cinta yang
merasuk ke dalam diri akan mendorong seseorang berkiprah. Melangkah mencari
yang dicinta. Berupaya untuk senantiasa memenuhi apa yang diinginkan oleh
cintanya. Berusaha agar selalu menuai ridha dari kekasih.
Cinta
mendorong seseorang untuk berbulat tekad mempersembahkan apa yang dimiliki.
Apakah hendak dikata, kala cinta telah meluap di hati. Sikap dan perilaku pun
akan terbingkai karenanya. Tanpa cinta, hidup terasa hambar. Tiada bermakna,
bagai pohon yang tak pernah disirami air kehidupan. Cinta nan bertumpu
kebenaran mengantarkan hidup seseorang pada jalan yang lurus.
Beribadah
kepada Allah تعالى harus dilandasi cinta (mahabbah) pula. Tentu selain itu,
dilandasi dengan sikap takut (khauf) dan mengharap (raja’). Tiga hal ini harus
terkumpul dan tak boleh sirna salah satu di antaranya. Karena, barang siapa
yang beribadah hanya dengan dilandasi sikap takut, maka ia beribadah di atas
jalan kaum Khawarij. Mereka beribadah kepada Allah تعالى hanya dilandasi sikap
khauf, mengambil nash-nash yang berisi ancaman, sedangkan nash-nash yang berisi
janji, ampunan (maghfirah), dan rahmat ditinggalkan.
Adapun yang
beribadah hanya dilandasi dengan sikap raja’, maka ia beribadah di atas jalan
yang ditempuh oleh kaum Murji’ah. Mereka beribadah atas dasar mengharap tanpa
ada landasan rasa takut dari berbuat dosa dan maksiat. Karena bagi kalangan
Murji’ah, iman cukup hanya di hati. Amal perbuatan tidak terangkum dalam iman.
Adapun orang
yang beribadah hanya dilandasi dengan sikap cinta (mahabbah) saja, ia beribadah
di atas landasan kaum Sufi. Tidak ada hakikat ibadah melainkan didasari oleh
tiga hal di atas. Satu di antaranya adalah cinta.
Perlu ditelisik
bahwa cinta (mahabbah) ada empat macam. Pertama, mahabbah syirkiyah adalah
cinta kepada berhala, patung, dan segala sesuatu yang disembah (diibadahi)
selain Allah تعالى.
“Di antara
manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah تعالى.
Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah تعالى. Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah تعالى. Jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada
hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah تعالى semuanya dan bahwa Allah
تعالى amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)” (Al-Baqarah: 165)
Kedua,
mahabbah muharramah adalah mencintai sesuatu yang Allah عزوجل memurkainya.
Mencintai hal yang dicegah, dilarang, dan diharamkan, seperti mencintai orang
musyrik dan kafir.
Ketiga,
mahabbah thabi’iyah adalah cinta seseorang terhadap anak-anaknya, kedua orang
tuanya, istrinya, dan teman-temannya.
Keempat,
mahabbah wajibah adalah mencintai para wali Allah عزوجل, mencintai karena Allah
عزوجل, dan berloyalitas karena Allah عزوجل. (Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
hafizhahullah, Ba’dhu Fawaid Surah Al-Fatihah, hlm. 185-194)
Cinta nan
tulus akan mengarahkan seorang hamba pada ibadah yang murni. Cinta nan tulus
menjadi salah satu faktor yang mengantarkan seorang hamba meraih kelezatan
manisnya iman.
Rasulullah
صلى الله عليه وسلم bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ
الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلهِ، وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga hal yang apabila ada pada diri seorang hamba,
niscaya dia akan merasakan manisnya iman: barang siapa yang menjadikan Allah
عزوجل dan Rasul-Nya صلى الله عليه وسلم lebih dicintai dari selain keduanya;
seseorang yang mencintai saudaranya, tidaklah dia mencintai melainkan karena
Allah عزوجل; seseorang yang tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah
عزوجل menyelamatkannya sebagaimana dia tidak suka jika dilemparkan ke dalam api
neraka” (HR. Muslim no. 43 dari Anas bin Malik z)
Demikian
pula, keimanan seorang hamba tidak akan bisa sempurna dan baik manakala tidak
melebihkan takaran cintanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Cinta kepada
Rasulullah صلى الله عليه وسلم harus lebih tinggi dibandingkan dengan cinta yang
diberikan kepada keluarga, harta, dan segenap manusia. Rasulullah صلى الله عليه
وسلم bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidaklah seorang di antara kalian beriman hingga dia
menjadikan aku lebih dia cintai dari keluarganya, hartanya, dan segenap
manusia.” (HR. Muslim no. 44 dari Anas bin Malik رضي الله عنه)
Al-Qadhi bin
‘Iyadh رحمه الله mengatakan bahwa termasuk mencintai Rasulullah صلى الله عليه
وسلم adalah menolong sunnahnya, membela syariat (yang dibawanya). Tidaklah
sempurna iman seseorang melainkan dengan hal itu. Tidak sah pula cinta
seseorang kecuali dengan meninggikan kedudukan Nabi صلى الله عليه وسلم atas
orang tua dan anak. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/205)
Dalam
kerangka cinta itu pula, sahabat bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم
mengenai amalan apa saja yang paling dicintai Allah عزوجل. Abdullah bin Mas’ud
رضي الله عنهما bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ
عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ
أَيٌّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Amalan apakah yang paling dicintai Allah عزوجل ?”,
Rasullullah صلى الله عليه وسلم menjawab, “Shalat pada waktunya”, “Kemudian apa
?”, “Berbuat baik kepada kedua orang tua”, “Kemudian apa ?”,
Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, “Jihad di jalan
Allah عزوجل” (HR. Al-Bukhari no. 5970)
Dorongan
cinta telah melambungkan semangat beramal untuk sesuatu yang lebih baik, lebih
dicintai, dan lebih utama. Saat cinta bersemi di hati, hasrat untuk meraup
pahala sedemikian membumbung tinggi. Cinta telah membasuh hati dan
menjadikannya jernih saat menatap hidup, karena cinta telah melumpuhkan gejolak
syahwat nan membinasakan. Akhirnya, yang ada hanyalah menghaturkan segenap amal
hanya bagi Allah عزوجل semata. Tiada bagi selain-Nya. Yang ada hanyalah
bagi-Nya. Seraya amal itu dititi di atas ittiba’ terhadap Rasul-Nya صلى الله
عليه وسلم.
Ibnu Katsir
رحمه الله menuturkan perihal sifat orang yang memiliki kedudukan tertinggi
dengan firman-Nya:
“Mereka
memberikan makanan yang disukainya….” (Al-Insan: 8)
“….dan
memberikan harta yang dicintainya….” (Al-Baqarah: 177)
Sungguh,
mereka adalah orang-orang yang menyedekahkan sesuatu yang mereka cintai.
Walaupun kadang mereka membutuhkannya, tetapi hal itu tidak dipentingkannya.
Mereka lebih mengutamakan orang lain dibandingkan dengan diri mereka sendiri.
Yang termasuk dalam kedudukan tertinggi ini adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq رضي
الله عنه. Beliau menyerahkan segenap harta yang dimilikinya. Rasulullah صلى
الله عليه وسلم bertanya kepadanya, “Apakah yang telah engkau sisakan untuk
keluargamu ?” Abu Bakr رضي الله عنه menjawab, “Aku tinggalkan Allah عزوجل dan
Rasul-Nya untuk mereka” (HR. At-Tirmidzi no. 3675)
Begitu pula
dengan air minum yang ditawarkan kepada ‘Ikrimah dan para sahabatnya رضي الله
عنهم saat Perang Yarmuk. Masing-masing lebih mendahulukan teman lainnya padahal
mereka dalam keadaan terluka. Mereka sangat memerlukan air, semuanya. Saat air
minum tersebut diserahkan kepada salah satu dari mereka, lantas orang ini
melihat temannya yang membutuhkan air. Air itu lalu diberikan kepada teman
lainnya. Saat teman yang membawa air ingin meminumnya, dia melihat ada teman
lainnya yang membutuhkan air pula hingga dia memberikan air tersebut kepada
teman yang lainnya. Sampai akhirnya, air minum tersebut hendak disampaikan
kepada yang lain, tetapi orang tersebut telah meninggal. Ketiga orang yang
terluka tersebut seluruhnya meninggal dunia dan tidak ada seorang pun yang
sempat meminum air tersebut.
Seseorang
datang kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan berkata, “Wahai Rasulullah,
berilah saya makanan” Beliau kemudian mengutusnya ke rumah istrinya, tetapi di
rumah ternyata tidak ditemukan makanan. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Adakah seseorang yang mau menjamu tamu pada malam ini ? Semoga Allah
merahmatinya” Seseorang dari kalangan Anshar berdiri kemudian ia menjawab,
“Saya, wahai Rasulullah”
Laki-laki
itu pulang dan menemui istrinya dan berkata, “Ini adalah tamu Rasulullah صلى
الله عليه وسلم. Jangan remehkan dia.”
Istrinya
menukas, “Demi Allah, aku tidak memiliki makanan selain yang tersisa untuk
anak-anak”
Suaminya
berkata, “Jika anak-anak menginginkan makan malam, tidurkanlah mereka.
Kemarilah, padamkan lampu. Biarkan perut-perut kita tak terisi makanan pada
malam ini”
Malam itu
mereka tak menyantap makanan untuk makan malam.
Keesokan
harinya, laki-laki itu menjumpai Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Rasulullah صلى
الله عليه وسلم bersabda, “Sungguh Allah عزوجل telah takjub —atau tertawa—
terhadap fulan dan fulanah” Kemudian turunlah ayat:
“Dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan ini). Barang siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
(HR. Al-Bukhari no. 4889. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, VII/42-43)
Dalam
riwayat Muslim, laki-laki Anshar yang dimaksud adalah Abu Thalhah رضي الله عنه.
Di zaman
yang telah dipengaruhi pemahaman individualis ini, masih adakah bentuk perilaku
di atas ? Perilaku para sahabat yang mulia yang senantiasa mendahulukan teman,
meski mereka sendiri membutuhkannya, tidak berarti harus memelihara sikap
kikir. Sungguh beruntung orang yang terjaga dari sikap kikir dan bakhil.
Firman-Nya:
“Dan barang
siapa yang dipelihara dari kekikiran, mereka itu orang-orang yang beruntung”
(Al-Hasyr: 9)
Cinta juga
mendorong seseorang untuk menggerus sifat individualis dan menunjukkan sikap
kebersamaan. Hadits Abu Hurairah رضي الله عنه menggambarkan hal ini.
أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى
فَأَرْصَدَ اللهُ تَعَالَى عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ
قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَالَ: أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ:
هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: لاَ، غَيْرَ أَنِّي
أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ تَعَالىَ. قَالَ: فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ
اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتُهُ فِيْهِ
Ada seorang lelaki mengunjungi temannya di satu desa.
Allah lalu memerintahkan malaikat mendatangi lelaki tersebut di tengah
perjalanannya. Saat bertemu, malaikat itu bertanya kepada si lelaki, “Kemana
engkau hendak pergi ?” Jawab lelaki itu, “Aku akan mengunjungi saudaraku di
jalan Allah di desa ini” Malaikat bertanya lagi, “Apakah engkau merasa berutang
budi atas kebaikannya ?” Lelaki itu menjawab, “Tidak. Aku berkunjung semata-mata
lantaran mencintainya karena Allah” Malaikat pun berkata, “Sesungguhnya, aku
adalah utusan Allah kepadamu bahwa Allah mencintaimu seperti halnya engkau
mencintai saudaramu itu karena Allah” (HR. Muslim)
Oleh karena
itu, Islam mendorong setiap pemeluknya untuk senantiasa memerhatikan keadaan
orang-orang yang kurang mampu. Tidak luput pula, setiap muslimah hendaknya
membelanjakan harta yang dimilikinya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ مِنَ
الْإِسْتِغْفَارِ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. قَالَتِ
امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ: مَا لَنَا أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ
اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ
“Wahai kaum
wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar (memohon ampun kepada Allah
عزوجل). Sungguh, aku telah melihat kebanyakan dari kalian adalah penghuni
neraka. Lantas, ada seorang wanita bertanya, ‘Mengapa kami (kaum wanita)
kebanyakan menghuni neraka ?’ Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab, ‘Kalian banyak
melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami” (HR. Muslim no. 79)
Islam adalah
agama yang menebar rahmat. Hak-hak individu tetap dijaga, tetapi tidak lantas
menjadi individualis. Kepekaan terhadap fenomena sosial tetap ditumbuhkan pada
diri seorang muslim. Kepedulian terhadap fakir, miskin, dan anak-anak yatim
menjadi barometer kualitas keagamaan. Semakin tajam seseorang menghayati dan
memahami Islam, semakin tajam pula tingkat kepedulian sosialnya. Hal ini karena
ajaran agama Islam tidak hanya dalam tataran teori, lebih dari itu harus
diamalkan dalam kehidupan nyata. Memberi sedekah, menyantuni anak yatim, dan
memberi makan orang miskin merupakan amalan yang dijunjung tinggi dalam Islam.
Firman Allah عزوجل:
“Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama ? Itulah orang yang menghardik anak yatim
dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin” (Al-Ma’un: 1-3)
Firman-Nya:
“Adapun
terhadap anak yatim, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Sedangkan terhadap
orang yang meminta-minta, janganlah kamu menghardik” (Adh-Dhuha: 9-10)
Oleh karena
itu, sangat tidak terpuji sekali apabila ada seseorang yang memupuk sikap ego
yang tinggi. Hanya mementingkan diri sendiri tanpa mau peduli terhadap sesama.
Memupuk egoisme akan merusak tatanan sosial, bisa menimbulkan kecemburuan
sosial, dan kehidupan bermasyarakat. Akhirnya, kriminalitas yang membahayakan
merajalela. Lantaran terjadi ketimpangan sosial, tidak mustahil terlahirlah
dunia hitam: premanisme, pelacuran, dan kejahatan lainnya, wal ‘iyyadzubillah.
Mendistribusikan sesuatu yang bernilai kepada sekelompok masyarakat yang tidak
mampu merupakan langkah bijak memupus kesenjangan sosial. Rasulullah صلى الله
عليه وسلم dan para sahabat yang mulia telah memberikan teladan perihal
tersebut.
Sebuah
hadits Abdullah bin ‘Umar رضي الله عنهما disebutkan bahwa ‘Umar bin
Al-Khaththab رضي الله عنه mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Kemudian ‘Umar
رضي الله عنه mendatangi Nabi صلى الله عليه وسلم. ‘Umar hendak meminta pendapat
perihal tanah tersebut kepada Nabi صلى الله عليه وسلم. ‘Umar berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan bagian tanah di Khaibar. Tidaklah aku
dapati harta yang lebih berharga darinya, menurutku. Saran apa yang engkau
berikan terkait tanah ini ?”
Nabi صلى
الله عليه وسلم bersabda, “Jika engkau mau, tetapkanlah tanah tersebut sebagai
barang sedekah”
‘Umar رضي
الله عنه lalu menyedekahkan tanah tersebut dengan status tanah itu tidak boleh
diperjualbelikan, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. ‘Umar bin
Khaththab رضي الله عنه menyedekahkan tanah tersebut (yang hasilnya)
diperuntukkan bagi orang-orang fakir, karib kerabat, para budak sahaya, orang
yang berada di jalan Allah عزوجل, ibnu sabil, dan tamu. (HR. Al-Bukhari no.
2737)
Apa yang
diperbuat ‘Umar bin Khaththab رضي الله عنه merupakan langkah nyata memupus
egoisme dan sikap bakhil. Tindakan ‘Umar bin Al-Khaththab رضي الله عنه
merupakan teladan dalam menumbuhkan kepedulian sosial. Para ulama menjadikan
hadits ‘Abdullah bin ‘Umar رضي الله عنهما di atas sebagai landasan wakaf.
Barang yang disedekahkan ‘Umar bin Al-Khaththab رضي الله عنه adalah jenis
barang yang bisa dimanfaatkan dalam kurun waktu yang lama. Ini tergambar dalam
hadits Abu Hurairah رضي الله عنه, sesungguhnya Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ
إِلاَّ مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ
وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah seluruh
amalnya kecuali tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya), ilmu
yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya”
(HR. Muslim no. 4199)
Karena itu,
yang menjadi salah satu syarat sah wakaf, barang yang diwakafkan tergolong yang
bisa dimanfaatkan secara terus-menerus dan tahan lama (baqa’). Wakaf menjadi
tidak sah manakala barang yang diwakafkan tersebut musnah/habis setelah diambil
manfaatnya seperti makanan. (Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah
Al-Fauzan, Mulakhkhas Al-Fiqhi, hlm. 165)
Memberikan
sesuatu yang berharga yang menjadi milik sendiri adalah termasuk prinsip
kebaikan. Allah عزوجل berfirman:
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi,
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”
(Al-Baqarah: 177)
Agar apa
yang disedekahkan benar-benar menjadi kebaikan yang bernilai guna, syariat
membimbing seseorang untuk tidak mengungkit-ungkit sedekah yang telah
diberikan. Hal ini bisa melenyapkan pahala sedekahnya. Apalagi diiringi dengan
menyakiti perasaan penerima. Sungguh, hal seperti ini merupakan tindakan yang
tidak terpuji. Allah عزوجل telah memperingatkan melalui firman-Nya:
“Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang
menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di
atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia
bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang
mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”
(Al-Baqarah: 264)
Dari Abi
Dzar رضي الله عنه, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ :
الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Tiga macam
orang yang Allah عزوجل tidak akan berbicara dengannya pada hari kiamat, tak
akan melihat mereka dan membersihkannya. Mereka mendapatkan siksa yang pedih.
Yaitu, orang yang mengungkit-ungkit apa yang telah diberikan, orang yang
memanjangkan kainnya hingga melebihi mata kaki, dan orang yang menuntut
tambahan harga (dari) barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah dusta” (HR.
Muslim no. 171)
Sedekah yang
diiringi dengan mengungkit-ungkit apa yang telah diberikan akan sangat
mengerikan. Sedekah yang telah dilakukan menjadi batal, pahala yang hendak
dituai pun menjadi sirna. Bahkan, di akhirat kelak Allah عزوجل tidak akan
berbicara dengannya, melihat, dan membersihkannya. Allah عزوجل akan
menghukumnya dengan siksa yang pedih. Wal ‘iyadzu billah.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin رحمه الله menjelaskan bahwa yang dimaksud
‘Allah عزوجل tidak akan berbicara pada mereka’ adalah berbicara dalam rangka
keridhaan. Karena Allah عزوجل pun berbicara dengan para penghuni neraka —dan
mereka sudah berada di neraka— sebagaimana firman Allah عزوجل:
Allah
berfirman, “Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara
dengan-Ku” (Al-Mu’minun: 108)
Ini
ditujukan pada mereka (penduduk neraka), akan tetapi bukan dalam kerangka jalan
yang diridhai. Adapun ‘Allah tidak akan melihat mereka’, maksudnya tidak
melihat kepada mereka dengan pandangan khusus, yaitu pandangan penuh rahmat.
Adapun memandang secara umum, maka sesungguhnya Allah Maha Melihat terhadap
segala sesuatu. Sedangkan ‘Allah tidak membersihkan mereka’, maksudnya tidak
membersihkannya dan memuji mereka dalam kebaikan. Bahkan, Allah عزوجل berbuat
yang sebaliknya pada mereka. Nas’alullaha al-‘afiyah. (At-Ta’liq ‘ala Shahih
Muslim, 1/349-350)
Karenanya,
ikhlaskanlah segala sesuatu yang telah diserahkan di jalan Allah عزوجل. Dengan
itu, diharapkan Allah عزوجل membalas segenap kebaikan yang telah diamalkan.
Tanpa harus mengungkit-ungkit dan menyakiti orang yang menerima pemberian
sedekah tersebut.
Wallahu
a’lam.
Sumber:
http://asysyariah.com/saat-cinta-bersemi-di-hati.html
0 komentar:
Posting Komentar